Minggu, 19 Juni 2011

Terbang ke Impian dalam Kesederhanaan

Artikel berikut berisi informasi terkait yang mungkin menyebabkan Anda untuk mempertimbangkan kembali apa yang Anda pikir Anda mengerti. Yang paling penting adalah untuk belajar dengan pikiran terbuka dan bersedia untuk merevisi pemahaman Anda jika perlu.
MANADO, KOMPAS.com - Keterbatasan alat utama sistem senjata atau alutsista personel TNI-AU dalam menjaga kedaulatan bangsa dan pertahanan udara memang harus diakui menimbulkan keprihatinan segenap anak bangsa.

Bagaimana tidak, negara tetangga maupun AS yang mengetahui keterbatasan ini pernah memanfaatkan peluang dengan diantaranya menerobos wilayah Indonesia tanpa ijin. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus penerobosan wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing seperti oleh pesawat AS dalam kasus Ambalat.

Namun, dengan keterbatasan armada yang ada, para penerbang TNI-AU pernah berusaha mengejar serta memperingatkan pesawat tempur AS berteknologi lebih mutakhir yang telah menerobos wilayah Indonesia dalam kasus itu. Mungkin negara asing termasuk tetangga Indonesia di ASEAN memandang sebelah mata kekuatan pertahanan Indonesia karena keterbatasan alutsista.

Namun, di lain sisi, kondisi ini justru membentuk personel pertahanan yang tangguh di Indonesia, seperti yang dialami oleh penerbang TNI-AU berusia 36 tahun, Mayor (Pnb) Setiawan. Mayor Setiawan tetap bangga dan setia melayani pertahanan udara walaupun pesawat Fokker 27 yang dikemudikannya hanya selisih setahun lebih muda dari usianya.

Entah apakah kenyataan ini merupakan ironi, lulusan Akademi Angkatan Udara pada 1998 ini mengaku tetap bangga menerbangkan pesawat angkut yang dibeli Indonesia pada 1976 dengan berbagai beban tugas dan risikonya.

"Memang perusahaan Fokker sendiri sudah tidak ada, tetapi kalau bicara soal pesawat adalah bicara soal perawatan," ujar bapak dari 2 putri ini seakan tidak tidak surut menunjukkan kesetiaannya menjadi salah satu penerbang dari 6 unit Fokker 27 yang ada di Indonesia.

Rasa bangga juga diekspresikannya dalam misi negara berisiko tinggi yang pernah diemban. " Waktu itu pesawat saya terbangkan saat di darat terdengar berbagai dentuman suara bahan peledak," kenang Setiawan dalam pengalaman menjadi co-pilot saat berkobar konflik di Maluku pada 2001-2002.

Setiawan mengaku rasa takut dan gentar harus ditelannya untuk memenuhi kontrak sebagai abdi dari penjaga dan pembela pertahanan udara.

Suasana mencekam juga digambarkannya saat ia harus menguji kelayakan terbang pesawat yang telah menjalani perbaikan besar pada mesin. Test flight berisiko cukup tinggi karena penerbang harus mampu terbang 8.000 kaki di atas permukaan tanah dengan mematikan salah satu mesin pesawat secara bergantian untuk mengetahui kelayakan terbang pesawat.

Pikirkan tentang apa yang telah Anda baca sejauh ini. Apakah itu memperkuat apa yang sudah Anda ketahui tentang
? Atau ada sesuatu yang sama sekali baru? Bagaimana dengan paragraf yang tersisa?

"Saya memeluk dan mencium istri dan anak- anak lebih erat dari biasanya sebelum berangkat tugas," urai penerbang tamatan SMAN 14 Jakarta pada tahun 1993 ini setiap kali akan menghadapi misi berisiko tinggi.

Kesederhanaan dan kerendahan hati menjadi bagian dari amunisi Setiawan dalam membekali diri untuk menghadapi tantangan hidup.

Ekspresi kerendahan hati dengan penuh persahabatan juga ditunjukkan Setiawan saat penerbang yang pernah 3 kali terjun dalam misi latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) sebagai kapten pilot pesawat komando dan 1 kali misi pengendali dalam Latihan Gabungan TNI 2008 ini dengan panjang lebar menuturkan pengalamannya kepada Kompas.com dalam sebuah wawancara di Manado, Rabu 15 juni 2011.

Sebagai pilot yang mengantarkan Kompas.com dan rombongan kunjungan kerja Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Ambon, Tual, Sorong serta Manado selama 4 hari sejak awal pekan ini, Mayor Setiawan selalu tampil tak lepas dari senyum yang menghiasi wajah terhadap penumpang yang ditemui di tengah kesibukannya.

"Kesabaran memang dibutuhkan, apalagi saat saya bertugas melatih para anak SMA yang menjadi pasukan pengibar bendera merah putih (PASKIBRAKA)," ujar penerbang yg mengantongi lisensi sebagai instruktur penerbang dan penguji kelayakan terbang Fokker 27 ini saat mengenang tugasnya sebagai komandan kompi pasukan penurunan bendera di Istana Negara dalam HUT Kemerdekaan RI pada 2005.

Penerbang yang pernah mengikuti misi operasi darurat militer di Aceh pada 2004-2005 ini mengaku banyak belajar dari kesulitan hidup dan kedisplinan yang ditanamkan oleh ibunya sejak masa kanak- kanak.

"Saya pernah melihat ibu menangis saat uang bulanan dari bapak berkurang untuk dibelanjakan menjelang akhir bulan," tutur Setiawan saat menggambarkan penghasilan ayahnya sebagai karyawan swasta yang terkadang sangat minim untuk menafkahi kebutuhan bulanan keluarga. "'Karena hidup sulit, ibu meminta saya belajar dan berdisplin agar saya bisa mandiri," tambahnya.

Kehidupan penuh keprihatinan dan keinginan untuk menjadi prajurit TNI sejak kecil menuntunnya untuk belajar dengan serius dan menjaga diri dari pengaruh kenakalan remaja.

"Saya jarang main sampai pulang larut malam. Sejak sekolah dulu saya sudah terbiasa menyetrika pakaian sendiri. Saya dulu tidak mengetahui manfaat pekerjaan rumah seperti mengepel lantai tapi kemudian saya baru sadar ada manfaatnya saat saya tinggal sendiri di asrama," jelas Setiawan untuk mendeskripsikan hal positif yang dilakukannya pada masa lalu berbuah positif di kemudian hari saat dirinya menjadi penerbang.

"Sebagai seorang Muslim, saya percaya bahwa setiap orang mempunyai rezekinya sendiri," timpalnya saat Dan Flight Ops A Skadron Udara 2 Halim Perdanakusumah ini menerangkan alasan kenapa ia tidak pindah ke maskapai komersil seperti dilakukan beberapa penerbang TNI-AU lainnya yang mengajukan pengunduran diri dan beralih menjadi pilot pesawat komersil karena diiming-imingi bayaran hingga 7 atau 10 kali lipat lebih besar.

Setiawan adalah contoh penerbang bersahaja yang tidak kenal pamrih dengan segala bakti dan budi pekerti yang ditunjukkannya. Namun, ini bukan berarti pemerintah hanya bisa berdiam diri dan sudah seharusnya mengoreksi diri dengan segera melengkapi para pengawal kedaulatan negara, TNI, khususnya TNI-AU, dengan alutsista yang memadai demi menjaga martabat bumi pertiwi.

Cukup mengetahui
untuk membuat padat, memotong informasi pilihan di atas faktor ketakutan. Jika Anda menerapkan apa yang baru saja belajar tentang
, Anda seharusnya tidak perlu khawatir.

Tidak ada komentar: